KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Diskrepansi Program 100 Hari

KOMPAS, Rabu, 17 November 2004

TENTU saja kita menyambut baik gebrakan (shock therapy) yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan Kabinet Indonesia Bersatu. Namun, harus tetap diakui bahwa program 100 hari yang dicanangkan Presiden Yudhoyono mengandung kekurangan dan cacat (diskrepansi) secara substansial.

Program 100 hari menjadi semacam kebijakan eksistensialis yang bertujuan memberikan sinyal kepada semua pihak, khususnya pasar, bahwa pemerintahan yang baru serius melakukan pembenahan. Dampak yang diharapkan adalah reputasi dan kepercayaan yang terbangun di antara para pihak terhadap pemerintahan yang baru. Tentu saja, salah satu grup yang menjadi target utama adalah para pelaku usaha yang diharapkan segara melakukan sinergi untuk menggerakkan kembali roda ekonomi.

Namun, para pelaku ekonomi menangkap pesan tersebut, pertanyaannya kemudian adalah mau diarahkan ke mana pemulihan ekonomi ini? Tampaknya, pemerintahan Presiden Yudhoyono belum punya arah yang jelas soal arah pemulihan ekonomi. Padahal, pemerintahan Yudhoyono memiliki momentum yang sangat besar untuk melakukan penataan kembali perekonomian pascakrisis ini.

Mestinya, pemerintahan kali ini tidak lagi disibukkan oleh berbagai manuver konsolidasi karena legitimasinya sangat jelas dan kuat dengan dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, kabinet bisa langsung berkonsentrasi pada program kerja pemulihan ekonomi.


Jangka panjang

Secara teoritis, pola kebijakan ekonomi bisa dikelompokkan dalam dua paket kebijakan besar yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Kebijakan jangka pendek biasanya menyangkut sisi moneter dan fiskal, seperti nilai tukar, inflasi, utang, defisit neraca pembayaran, dan anggaran pemerintah. Sementara pola kebijakan yang bersifat jangka panjang menyangkut masalah sektor riil, kapasitas produksi, ketenagakerjaan, dan struktur industri.

Program 100 hari, meskipun sifatnya hanya shock therapy, tetapi tetap harus mencerminkan kerangka kebijakan yang seimbang dalam kerangka jangka pendek maupun panjang. Secara lebih mendalam, paket kebijakan 100 hari semestinya bukan sekadar berorientasi untuk menggerakkan dinamika ekonomi saja, melainkan juga berorientasi untuk membangun kerangka institusional yang mendasari terjadinya dinamika ekonomi tersebut. Dalam bahasa teoritis, kebijakan pemerintah tidak hanya sekadar mengarah pada pencapaian keseimbangan umum (general equillibrium) dalam jangka pendek saja, tetapi juga memperhitungkan masalah perkembangan ekonomi yang bersifat dinamis (evolutionary dinamic) dalam jangka panjang.

Menjalankan program pemulihan ekonomi dengan cara merancang paket kebijakan yang komprehensif bukanlah hal yang sederhana. Meski bukan berarti bahwa kealpaan pemerintah menyediakan arah kebijakan lalu bisa dimaklumi. Kerangka institusional dalam jangka panjang amatlah penting, apalagi mengingat bahwa perekonomian kita telah porak poranda diterjang krisis. Jika paket kebijakan hanya diarahkan pada stabilitas moneter jangka pendek, dalam jangka panjang perekonomian kita tak akan pernah bisa tumbuh sebagai kekuatan yang kompetitif.

Dalam rangka membangun kerangka institusional jangka panjang ini, tidak seluruh pekerjaan bisa diserahkan pada mekanisme pasar (laissez faire), melainkan memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah secara aktif. Persis pada pola kepemimpinan kebijakan pemerintah dalam rangka menciptakan sebuah arah dari usaha penataan ekonomi dalam jangka panjang inilah, kelemahan pemerintahan Yudhoyono begitu menonjol.

Hal yang begitu keras terdengar hanyalah bahwa pemerintah mendukung dunia usaha untuk bergerak memulihkan perekonomian. Akan tetapi, bagaimana dan ke arah mana, tampaknya kebingungan masih terjadi di sana-sini. Kesan bahwa Kabinet Indonesia Bersatu propelaku bisnis sangat terasa dengan diangkatnya Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), di samping wakil presidennya yang memang representasi dari kalangan pengusaha. Lebih dari itu, pemerintahan Yudhoyono tampil kurang punya performa.

Jika yang diharapkan dari program 100 hari adalah munculnya kepercayaan dan reputasi dalam jangka panjang bagi seluruh konstituen (stakeholders) di bidang ekonomi, ironi yang pertama kali muncul adalah dipilihnya Menko Perekonomian dari kalangan pengusaha. Menata perekonomian tak identik dengan mendorong dunia usaha. Bahwa dunia usaha menjadi salah satu tulang punggungnya harus diakui, tetapi bukan berarti segala- galanya.

Parahnya, bahkan ada gejala bahwa kalangan pelaku usaha yang tergabung di bawah Kamar Dagang dan Industri pun merasakan absennya kepemimpinan kebijakan pemerintahan yang baru ini. Soal kepastian kenaikan harga bahan bakar minyak misalnya. Pemerintah tampak tak segera jelas mengambil sikap, padahal keputusan itu sangat dinantikan para pelaku usaha untuk melakukan kalkulasi perencanaan bisnis, paling kurang untuk satu tahun ke depan.

Struktural

Salah satu isu penting dalam kebijakan struktural di bidang perekonomian adalah penataan antarlembaga yang selama ini sangat tak efektif. Misalnya, masalah tumpang tindih antara Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan dan Badan Pengawasan Pasar Modal.

Demikian juga dengan masalah kemandulan Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam menarik minat investasi asing. Peta hubungan antarlembaga ini semestinya juga dibangun bukan saja untuk meningkatkan koordinasi dan efisiensi pelayanan sebagai supporting system, tetapi juga untuk mendorong efisiensi dan efektivitas aktivitas ekonomi itu sendiri.

Misalnya saja menyangkut kebijakan divestasi dan privatisasi. Belum lama ini Perusahaan Pengelola Aset telah menjual 51 persen saham Bank Permata kepada konsorsium Astra International dan Standard Chartered Bank dengan nilai sekitar 250 juta dollar AS (Rp 2,77 triliun). Tentu saja ini adalah berita baik di tengah memburuknya defisit anggaran pemerintah dan semakin menipisnya "cadangan" aset yang bisa didivestasi atau diprivatisasi.

Namun, bukan berarti bahwa penjualan aset bisa dilakukan tanpa sebuah rancangan. Rencana divestasi lanjutan 20 persen saham Bank Permata dengan menunjuk konsorsium AI dan Standchart sebagai pembeli potensial (standby buyer) cenderung kontraproduktif dalam rangka penataan hubungan antar-institusi dalam sistem perekonomian jangka panjang.

Salah satu penyebab rusaknya ekonomi kita adalah tidak adanya mekanisme kontrol antara korporasi, lembaga pasar modal, dan lembaga keuangan. Dalam teori tata kelola korporasi dikenal dua mekanisme kontrol terhadap perilaku korporasi (corporate behavior), yaitu kontrol melalui pasar modal dan kontrol melalui lembaga ketiga, seperti perbankan dan institusi keuangan lainnya (dana pensiun dan asuransi).

Mekanisme kontrol model pertama terjadi manakala sebagian besar perusahaan sudah mencatatkan diri di lantai bursa dan pola kepemilikannya cenderung menyebar atau tidak ada pemilik mayoritas (majority shareholder). Model ini dikenal sebagai Anglo-American model karena memang sangat tipikal pada perusahaan-perusahaan di AS dan Inggris. Kinerja perusahaan-perusahaan di AS dan Inggris sangat dikontrol oleh dinamika pasar modal di mana para investor akan "menghukum" atau "mengapresiasi" kinerja perusahaan dengan cara menjual atau membeli saham. Naik turunnya harga saham sebuah perusahaan menandakan sikap investor terhadap kinerja perusahaan tersebut.

Mekanisme kontrol model kedua mengambil contoh dari pengalaman yang terjadi di Jepang dan Jerman. Di kedua negara ini, bank (atau institusi keuangan lainnya) menjadi pengontrol kinerja korporasi dengan cara memberikan pinjaman. Dengan demikian, perbankan memiliki legitimasi untuk mengawasi korporasi karena mereka ingin meyakinkan bahwa pinjaman yang diberikan akan kembali dengan baik.

Di negeri kita, di mana kepemilikan sebagian besar perusahaan masih bersifat mayoritas di tangan keluarga atau kelompok usaha tertentu, sementara kepemilikan saham bank juga terkonsentrasi, sulit mengandalkan fungsi kontrol baik dari lembaga perbankan maupun lembaga pasar modal. Akibatnya, moral hazard merajalela, baik di sektor korporasi, pasar modal, maupun lembaga keuangan (bank).

Runtuhnya sektor perbankan, BLBI yang tidak kembali dan kredit macet di sektor korporasi, semestinya menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana membangun hubungan antar- institusi yang bisa saling mengontrol satu sama lain. Semoga kesalahan Presiden Yudhoyono memilih Menko Perekonomian tak diikuti oleh langkah yang makin tidak bervisi dalam rangka menata ekonomi.


A Prasetyantoko Mahasiswa Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure (ENS)-LSH, Lyon-Prancis

1 Comments:

Blogger kamarmesra said...

numpang baca ya...:D

9:56 PM  

Post a Comment

<< Home