KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Fatamorgana Bisnis

KOMPAS, Sabtu, 21 Agustus 2004

BAGI sebagian masyarakat Buyat, ulang tahun kemerdekaan kemarin tidak begitu menarik diperingati. Mereka sedang berjuang amat keras membebaskan diri dari belenggu penderitaan berupa penyakit yang kemungkinan besar disebabkan kandungan merkuri, sianida, dan arsenik limbah PT Newmont Minahasa Raya atau PT NMR.

Perseteruan tengah berlangsung antara sekelompok masyarakat yang didukung LSM dengan PT NMR yang tampaknya mendapat dukungan para pejabat pemerintah. Dan jalan pun berliku diiringi usaha saling mencari pembenaran. Menarik bahwa konflik antara masyarakat dengan PT NMR telah bergeser menjadi konflik antara masyarakat dan pejabat publik (Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Pertambangan & Energi). Apa artinya ini?

Para pengamat sosial segera mengejanya sebagai fenomena negara yang sudah ditangkap kekuatan bisnis (state-captured). Dalam kasus ini, seperti lazim terjadi dalam kasus lain, ketika terjadi perselisihan antara warga dengan pengelola usaha, negara muncul sebagai kekuatan yang menyelamatkan korporasi. Karena itu, dalam rangka ulang tahun kemerdekaan, ada pertanyaan yang relevan diajukan, apakah kita sudah benar-benar merdeka dari tangan para pengelola usaha (asing)? Meski pertanyaan ini tidak akan terjawab, tetapi biarlah refleksi ini menjadi latar belakang dari usaha kita untuk menganalisis persoalan dalam konteks yang lebih konkrit.

Bagi bisnis modern, isu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) adalah bagian amat penting yang tidak boleh diabaikan. Hampir di seluruh laporan tahunan (annual report) perusahaan-perusahaan besar, program CSR selalu terpampang rapi dan mengesankan. Dan fatamorgana itu pun mulai terjadi.

Newmont

Selain PT NMR, perusahaan terbesar di dunia yang bergerak di bidang pertambangan emas ini beroperasi di Indonesia melalui PT Newmont Nusa Tenggara, PT Newmont Pacific Nusantara, dan PT Newmont Horas Nauli. Mereka adalah unit-unit bisnis di bawah payung korporatif PT Newmont Mining Corporation yang didirikan tahun 1921 oleh Kolonel William Boyce di New York, Amerika Serikat (AS).

Ada hal menarik saat membuka website perusahaan ini, bahwa mereka memiliki rumusan yang amat baik dalam CSR. "Newmont’s future is dependent on its ability to develop, operate and close mines consistent with our commitment to sustainable development, protection of human life, health, the environment, and to adding value to the community in which we operate." Dari rumusan ini, kita bisa bertanya, "kurang apa komitmen Newmont kepada masyarakat di sekitarnya?"

Secara lebih tegas, mereka mengatakan "we will pursue excellence in the communities in which we operate..." Rupanya jargon ini telah diterjemahkan dengan sangat baik oleh PT NMR. Mereka memiliki kurang lebih 700 pekerja, dan 85 persennya adalah putra daerah Sulawesi Utara.

Dari penciptaan lapangan pekerjaan, mereka bisa berbangga, telah menjadi salah satu perusahaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Lebih jauh lagi, mereka menunjukkan komitmennya terhadap masyarakat melalui pendirian Yayasan Minahasa Raya dengan alokasi dana tak kurang dari 1,5 juta dollar AS.

Guna mewujudkan tanggung jawabnya terhadap masyarakat sekitar, mereka mendirikan Komite Konsultasi Masyarakat yang tujuan utamanya mengonsultasikan seluruh masalah yang dihadapi masyarakat sekitar. Usaha nyata sudah ditempuh PT NMR dengan memberi bantuan di bidang pendidikan, prasarana, peningkatan kesehatan, pelatihan, perbaikan habitat laut, dan sebagainya. Pendek kata, di atas kertas tak ada yang kurang dari keberadaan Newmont di Indonesia.

Sebagai bagian MNC (multinational corporation), mereka amat menekankan kaidah bisnis yang bertanggung jawab. Per definisi, seperangkat sistem, standar dan prosedur dalam menjalankan bisnis telah diatur kantor pusat sebagai usaha untuk mengendalikan kualitas sekaligus mempertanggungjawabkannya pada masyarakat luas di tingkat internasional, khususnya pada para pemegang saham (shareholders). Lalu di manakah salahnya?

Kesalahan utama dan pertama adalah, bisnis tidak pernah menjalankan apa yang dikatakannya. Apa yang tertulis adalah cita-cita, bukan realita. Persis saat seperangkat kondisi eksternalnya berbeda, perilaku bisnis juga berbeda. Di negara maju, kontrol masyarakat terhadap perilaku bisnis amat kuat, sementara di negara sedang berkembang (NSB) tekanan belum kuat. Di negara maju, birokrasi yang lemah dan korup bisa diseret ke pengadilan, sementara di NSB bahkan pengadilan pun lazim disuap.

Justru pokok masalahnya dalam hal CSR adalah konsistensi menjalankan apa yang sudah ditulis dengan sebaik-baiknya. Karena jika tidak CSR, tidak lebih hanya sabagai public relation yang tidak ada gunanya saja. Sayangnya, fenomena inilah yang lebih sering terjadi.

Tanggung jawab sosial

Seorang pengusaha sukses, Andrew Carnegie di AS berujar, "Seorang kaya raya yang mati, ia tidak akan terberkati." Maka di akhir hidupnya, dia menyumbangkan 90 persen kekayaannya untuk tujuan sosial (The Economist, 31/7-6/8, 2004). Lalu, bersama John Rockefeller dia menjadi simbol filantrofi dunia bisnis di abad ke-20.

Kini, di abad ke-21, situasinya telah berubah. Pertama, dalam bisnis modern para pemilik perusahaan sudah tidak bisa diidentifikasi dengan baik. Para pemegang saham adalah pemilik anonim yang namanya tercatat secara tersembunyi di pasar modal. Kedua, filosofi bisnis telah bergeser dari usaha dengan "niat baik" menuju pada usaha dengan "kesan baik". Bagi mereka, persoalan utamanya bukanlah mengusahakan nilai yang secara esensial baik, tetapi bagaimana mengemas perusahaan agar memberi kesan baik kepada publik.

Pendirian yayasan oleh sebuah perusahaan misalnya, tidak semata-mata karena niatan baik, tetapi lebih mungkin untuk memberi kesan baik saja. Inilah fatamorgana yang sering diciptakan oleh korporasi.

Demikian pun isu CSR adalah sebuah usaha untuk membuat citra perusahaan menjadi baik di mata publik, khususnya di hadapan para investor. Para pengelola perusahaan bukanlah para pemilik, maka mereka harus berusaha keras untuk menarik hati para pemegang saham agar yakin bahwa modal yang ditanamkan di perusahaan tersebut dikelola dengan baik serta mendatangkan keuntungan. Tegangan kepentingan antara para pengelola perusahaan (agent) dan para pemilik modal (principal) inilah yang belakangan mendapatkan perhatian dari para teoritisi organisasi, strategi, dan keuangan. Persoalan agensi (agency problem) yang selalu muncul antarprinsipal dan agensi diyakini sebagai sumber utama perilaku oportunis (opportunism).

Para pengelola perusahaan hanya berpikir bagaimana setiap tahun operasi usahanya mendatangkan laba yang sebesar-besarnya bagi para pemegang saham. Dan para pemegang saham pun tidak pernah mau tahu dengan apa pun persoalan yang dihadapi dalam operasi usaha. Hal terpenting adalah bahwa investasinya akan mendatangkan keuntungan yang maksimal. Jika dirasa tingkat keuntungan tidak memadai, mereka akan mengubah komposisi (portfolio) investasinya dengan menjual kepemilikan saham pada perusahaan tertentu dan mengalihkan pada perusahaan lain. Mekanisme pasar modal modern sangat mendukung dinamika perilaku yang oportunistis ini.

Lalu siapa yang bertanggung jawab jika ada persoalan? Bukan para pengelola, bukan pula para pemegang saham. Dalam operasinya, bisnis selalu berupaya melengkapi dirinya dengan perlindungan yang maksimal melalui pendekatan terhadap para pejabat negara. Dan jangan pernah heran jika biaya yang dialokasikan untuk melakukan lobi dan pendekatan ini terkadang memakan porsi lebih besar ketimbang biaya untuk membayar upah seluruh buruh yang dipekerjakannya.

Jadi, bisnis modern memang sangat peduli dengan kesan di satu sisi, sementara di sisi lain selalu mencari peluang untuk meloloskan diri dari segala tuntutan dengan cara melakukan lobi dan pendekatan. Fenomena tuntutan masyarakat Buyat terhadap PT NMR mendeskripsikan dengan cukup jelas karakteristik perilaku bisnis yang diliputi oleh fatamorgana ini.

A Prasetyantoko Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home