KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Memahami Rasionalitas Pasar

KOMPAS, Kamis, 30 September 2004

SEBUAH harian terkemuka di Perancis, Le Monde (21/9/2004), menulis bahwa kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu presiden putaran kedua karena dua hal utama. Pertama, masyarakat sedang membutuhkan figur pemimpin yang diharapkan bisa menjaga keamanan dan stabilitas politik. Kedua, terkait dengan yang pertama, berpotensi lebih baik dalam usaha pemulihan ekonomi.
Tak dapat dimungkiri, seperti halnya Le Monde, media-media asing memiliki persepsi yang cenderung lebih positif terhadap Yudhoyono. Dengan mengutip beberapa komentar dari lapisan masyarakat-melalui wawancara-mereka menyimpulkan bahwa Megawati telah gagal menjalankan kepemimpinan secara efektif sehingga yang terjadi adalah situasi yang jalan di tempat (status quo). Persepsi yang dibangun media massa global ini tentu saja menuntun sikap para investor dan pelaku pasar lainnya dalam menyikapi perkembangan politik di Indonesia.
Sudah sejak lama survei-survei yang dilakukan oleh lembaga independen menyatakan bahwa Yudhoyono lebih disukai pasar (market friendly). Dan, benar bahwa pasar langsung beraksi positif sesaat setelah penghitungan hasil pemilu dilakukan. Menjelang pemilu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta sudah menunjukkan gairah positif dengan menembus level 800 poin. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) juga menguat hingga di bawah level Rp 9.200 per dollar AS.
Para analis berteriak, pasar semakin dewasa dan rasional, tidak lagi dihantui oleh aksi terorisme, melainkan lebih melihat ke depan dengan mempertimbangkan faktor pemilu presiden yang telah berjalan dengan baik. Melihat kenyataan ini, optimisme segera merasuk pada rasionalitas mereka dengan menyatakan bahwa bursa akan mencapai titik tertinggi dalam sejarah. Namun, optimisme mereka tersendat setelah melihat realitas bahwa beberapa hari setelah pemilu, lonjakan IHSG tidak seperti yang diharapkan. IHSG hanya naik tipis.
Profesionalisme
Di tengah berbagai perkembangan sebagai respons terhadap hasil pemilu putaran kedua ini, rasionalitas pasar sebagai salah satu indikator untuk menilai kinerja pemerintah (dan kabinet) baru menempati posisi penting.
Pertanyaan pertama yang patut kita ajukan, apakah benar bahwa pasar itu bersifat rasional? Hal ini menjadi penting untuk menilai komposisi kabinet yang baru akan diumumkan pada 20 Oktober mendatang. Jauh-jauh hari sudah terdengar suara lantang yang berisi ancaman, jika kabinet tidak "ramah terhadap pasar" maka dunia usaha tidak akan bergerak dan pemulihan ekonomi akan terganggu. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kabinet yang ramah terhadap pasar itu?
Salah satu ukuran yang sering disampaikan adalah kriteria profesionalisme. Alhasil, rumus yang diusulkan tentang komposisi kabinet mendatang adalah 70 persen profesional, 30 persen politikus. Pendeknya, akan lebih baik jika kabinet tidak diisi oleh para politikus yang selama ini aktif berada di belakang tim sukses para calon presiden. Namun, bagaimana pula mengukur independensi seseorang setelah melihat bahwa hampir seluruh profesional/akademisi/intelektual berduyun-duyun menjadi anggota tim sukses selama musim kampanye yang lalu?
Kita berada dalam wilayah abu-abu sebenarnya. Kalau memang pasar membutuhkan kepemimpinan yang mengerti betul soal ekonomi, mengapa "partainya para ekonom" yang dikomandani oleh ekonom senior, Sjahrir, praktis tidak ada yang memilih? Dengan demikian, masalah profesionalisme dan kompetensi sebenarnya adalah kriteria yang tidak bebas nilai karena di dalamnya tersirat sebuah kepentingan tertentu.
Yakinkah kita bahwa para akademisi dari kampus, selama ini dikenal polarisasi antara UI dan UGM, ataupun para intelektual dari lembaga riset (seperti CSIS) selalu berdiri pada posisi yang obyektif? Menurut mereka, dengan menggunakan rasionalitasnya, mereka telah berdiri pada posisi yang obyektif dan rasional. Namun faktanya, banyak akademisi dan intelektual, dengan kekuatan rasionalitasnya, telah tergelincir menjadi alat legitimasi dari sebuah kekuasaan yang tengah berkuasa (the ruling power).
Rasionalitas
Pertanyaan lebih sistematis yang belum terjawab, benarkah pasar selalu bersikap rasional? Bahkan dalam mazhab ilmu ekonomi pun, persoalan ini tidak terpecahkan. Tetap ada dua aliran besar yang berbeda haluan, yaitu aliran (neo)-klasik yang meyakini bahwa pasar bisa bekerja secara rasional dan efisien (autoregulator) serta aliran (neo)-keynesian yang menyatakan pasar tidak selalu bisa bekerja sendiri.
Benar, semua ekonom mengakui adanya fenomena kegagalan pasar (market failure), tetapi dua aliran memahaminya secara berbeda. Bagi kaum (neo)-klasik, kegagalan pasar adalah sebuah risiko, sementara bagi penganut (neo)-keynesian kegagalan pasar adalah esensi. Karena itu, jika aliran klasik menolak intervensi pemerintah, kaum keynesian justru menganjurkannya.
Jika masuk ranah yang lebih mikro, perdebatan soal rasionalitas lebih seru lagi. Dalam tradisi ekonomi mikro, ada pihak yang menyatakan, rasionalitas individu itu sempurna dan yang lain tidak. Herbert A Simon (1980-an), pemenang Nobel Ekonomi, menyatakan rasionalitas seseorang itu dibatasi terutama oleh pranata-pranata dan institusi serta lingkungan eksternal di mana dia hidup (bounded rationality). Sementara Williamson (1990-an) menyatakan bahwa individu itu selalu bersikap oportunis sehingga perlu dibatasi oleh aturan-aturan tertentu.
Williamson tak percaya, pasar (the market) adalah mekanisme yang paling efisien, maka dia mengusulkan organisasi (the firm) sebagai sarana yang diyakininya mampu mendistribusikan sumber daya secara lebih efisien. Williamson dikenal sebagai pencetus "teori biaya transaksi" (transaction cost theory) dengan menyatakan bahwa pasar membutuhkan biaya transaksi yang lebih tinggi, dalam mendistribusikan sumber daya, ketimbang perusahaan.
Mereka adalah para peneliti kontemporer yang sebenarnya mengangkat pemikiran yang sudah relatif tua. Misalnya, Akerlof (1970) menyatakan informasi bersifat tidak seimbang (asymmetric). Atau, Roland Coase (1937) sudah mendikotomikan "pasar" dan "perusahaan" sekaligus menekankan pentingnya perusahaan sebagai bentuk pengorganisasian sumber daya yang lebih efisien.
Stiglitz adalah salah satu ekonom kontemporer yang menekuni masalah "informasi yang tidak seimbang" itu. Pada tahun 1976, bersama R Rothschild, dia menulis mengenai efek informasi yang tidak seimbang terhadap pasar asuransi. Dan pada tahun 1981, bersama dengan Weiss dia menulis mengenai efek asymmetric information terhadap pasar uang dan kredit. Dan akhirnya, pada tahun 2001 bersama dengan Akerlof, Stiglitz menerima hadiah Nobel di bidang ekonomi.
Berpijak dari pandangan para teoretisi, ada baiknya jika kita berhati-hati dalam menanggapi sikap pasar terhadap pemerintahan (dan kabinet) baru ini. Pasar tidak bergerak sendiri, banyak faktor yang secara sumir berada di dalamnya dengan hukum tertinggi tetap pada usaha untuk menemukan peluang guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Konsekuensinya, para penggawa di kabinet tidak selalu harus "pro-pasar". Karena justru yang amat dibutuhkan saat ini adalah sebuah fondasi yang kuat dari tata pemerintahan yang baik dan bersih agar pasar tidak lagi bisa mendera semena-mena. Bukanlah pasar yang menuntun pemerintahan, tetapi tata kelola sebuah pemerintahanlah yang seharusnya menuntun pasar (governance-led-market), ke arah yang lebih baik tentu saja. Selamat bekerja para anggota kabinet baru!
A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home