KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Mencermati Kerisauan Pelaku Bisnis

KOMPAS, Selasa, 13 April 2004

KEBERHASILAN pencoblosan (5 April) ternyata tidak segera berbuah kepastian. Aliansi parpol menolak hasil pemilu sebagai buntut kontroversi penghitungan suara. Perkembangan ini jelas merisaukan banyak pihak, terutama pelaku bisnis. Mereka kembali menghadapi pendulum ketidakpastian yang memperpanjang waktu penantian.

Memasuki tahun 2004, para pelaku bisnis sudah pasang kuda-kuda. Berbagai strategi dan program antisipasi disiapkan, mulai dari mengurangi perjalanan dinas, mengaktifkan koordinasi virtual (virtual coordination), memindahkan target operasi usaha, sampai menurunkan target penjualan. Meski secara umum pelaku bisnis optimistis dengan pelaksanaannya, penolakan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 pasti akan menjadi sumber keresahan.

Bagaimanakah sikap pelaku bisnis menghadapi Pemilu 2004? Lembaga Penelitian Atma Jaya melakukan studi singkat, "Sikap Para Pelaku Bisnis terhadap Pemilu 2004", guna mencoba memetakan kerisauan mereka menghadapi pemilu.

Sikap pelaku bisnis

Studi menggunakan dua metode: survei (terhadap 160 responden) dan wawancara (17 responden). Survei diarahkan guna mendeteksi "intensi" pelaku bisnis dalam menjalankan bisnis selama pemilu. Survei menunjukkan bahwa responden memiliki behavioral belief yang negatif. Artinya, secara umum pandangan mereka terhadap pemilu cenderung negatif.

Secara lebih rinci, responden berbagai perusahaan yang "tidak" terdaftar di Bursa Efek Jakarta berpandangan sedikit lebih negatif dibandingkan dengan responden yang perusahaannya terdaftar. Selain itu, tingkat persepsi manajer puncak ternyata paling negatif dibandingkan dengan manajer menengah-bawah.

Pengalaman buruk Pemilu 1999 yang terjadi dalam situasi serba tak menentu agaknya memengaruhi persepsi mereka atas pemilu. Pemilu adalah kerusuhan, bentrok berdarah, dan mengarah pada instabilitas. Begitu kira-kira pandangan umum pelaku bisnis. Pemilu 1999 masih menyisakan "luka batin" bagi pelaku bisnis, terjadi dalam situasi serba sulit. Krisis baru saja mengguncang, bahkan meruntuhkan tatanan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tahun 1999 mencapai 0,79 persen, setelah sebelumnya (1998) berada pada titik terendah (-13,8 persen).

Pendek kata, Pemilu 1999 dilaksanakan dalam konteks ekonomi hancur lebur. Pemilu 2004 berlangsung dalam suasana ekonomi lebih dinamis meski bukan berarti tanpa masalah. Kinerja ekonomi terbukti tidak terpengaruh dinamika politik. Indeks harga saham, kurs, pertumbuhan ekonomi, inflasi, jumlah uang beredar, suku bunga, dan indikator ekonomi lainnya dalam kisaran yang bisa dipahami.

Meski persepsi pelaku bisnis tentang pemilu negatif, bukan berarti akan mengganggu kegiatan bisnis. Bisnis dan politik adalah dua hal berbeda. Meski pemilu sedang berlangsung, 70 persen lebih responden meyakini rekanan bisnis (stakeholder) tetap mengharap perusahaan menjalankan usaha seperti biasa.

Secara lebih meyakinkan, 76-91 persen responden melihat adanya "sumber daya" dan "kesempatan" positif guna melakukan bisnis selama pemilu. Singkatnya, intensi pebisnis untuk tetap menjalankan usahanya masih amat tinggi. Secara sektoral terlihat, industri media memiliki keyakinan dan motivasi paling tinggi dibandingkan dengan sektor lain untuk tetap menjalankan bisnis, sedangkan industri pengolahan terlihat sebagai sektor paling merasa terhambat dengan pemilu. Ini mudah dipahami karena instabilitas jadi "berkah" atau sumber berita industri media, sementara bagi industri pengolahan instabilitas adalah "bencana".

Harapan Pemilu 2004

Dalam wawancara dengan sejumlah eksekutif tingkat atas, terlihat mereka tidak terlalu peduli dengan Pemilu 2004. Mereka berkeyakinan, partai pemenang pemilu adalah partai-partai besar yang kini bercokol di pemerintahan. Masalahnya, pelaku bisnis merasakan pemerintahan sekarang tidak berbuat banyak untuk menciptakan iklim usaha yang baik.

Para responden menyatakan, pemerintah tak memerhatikan kepastian hukum. Meski dikeluarkan berbagai paket regulasi dan kebijakan, kenyataannya tetap terasa tanpa aturan. Tata pemerintahan (good governance) tak berjalan baik, mengganggu kegiatan bisnis. Lima tahun lalu yang jadi gangguan adalah kekacauan sosial, kini gangguannya adalah kekacauan tata kelola pemerintahan.

Bagi pelaku bisnis, masalah kepastian hukum, tata kelola, dan birokrasi yang efisien adalah masalah yang jauh lebih penting. Mereka menganggap pemilu kali ini tidak akan membawa perubahan.

Menanggapi pemerintahan sekarang, ada responden eksplisit menyatakan, bila perlu pemerintah mendatang dari militer guna menjamin kepastian usaha. Pandangan ini cukup menjelaskan mengapa partai yang menyatakan diri sebagai antek Orde Baru masih punya pendukung.

Para pelaku bisnis jenuh dengan partai-partai besar yang gagal menjalankan tata kelola pemerintahan. Mereka melirik partai-partai baru yang menjanjikan perubahan nyata. Mungkin-pergeseran ini terasa absurd-karena partai baru belum teruji mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Tetapi, paling tidak, hal itu menunjukkan sebagian masyarakat bisnis tidak lagi percaya dengan partai besar yang kini tengah berkuasa.

Dilihat kondisi makro, perbaikan ekonomi ada pada tingkat meyakinkan. Namun, kelemahan struktural masih terlihat, seperti proporsi sektor konsumsi yang jauh lebih besar daripada investasi dan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi. Munculnya deindustrialisasi menggambarkan bukan saja keengganan investor asing masuk, tetapi niat investor yang sudah ada untuk pergi. Kelemahan muncul nyata (manifest) dalam tingginya angka pengangguran sekaligus menandai belum pulihnya sektor riil.

Pemerintahan tidak mampu menindaklanjuti "stabilitas ekonomi"-yang sebenarnya lebih banyak tercipta karena faktor "alamiah" ketimbang prestasi pemerintah-dengan "pertumbuhan ekonomi" memadai sehingga bisa memecahkan persoalan pengangguran. Dan hal itu disebabkan karena tidak bekerjanya kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang memungkinkan instrumen regulasi dan kebijakan bisa bekerja dengan baik.

Dalam jangka pendek, pertumbuhan memadai amat ditentukan kredibilitas hasil pemilu. Pemerintahan yang dihasilkan akan menentukan apakah bisnis segera jalan, investasi segera masuk, dan pengangguran teratasi. Masalahnya, dalam proses pemilu ini terlalu banyak masalah yang berbuntut penolakan hasil pemilu. Pelaku bisnis menunggu kedewasaan para politisi untuk menyelesaikan persoalan itu. Hanya dengan kedewasaan politik di antara penguasa dan calon penguasa, kerisauan pelaku bisnis segera berganti minat untuk kembali bekerja.

Mereka amat berharap pemilu akan menjadi momentum konsolidasi bagi pemerintahan mendatang agar mampu menjalankan tata kelola dengan lebih baik. Untuk itu, pelaku bisnis tidak akan pernah memberikan suara pada figur yang tidak memberi tawaran nyata atas persoalan sekarang. Kenyataan ini patut disimak para kandidat presiden yang akan berkompetisi Juli mendatang.

A Prasetyantoko Staf Pengajar Universitas Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home