KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Denasionalisasi Ekonomi

KOMPAS, Rabu, 04 Februari 2004

ANALISIS ekonomi serta beberapa artikel di kolom Bisnis & Investasi (Kompas, Senin, 25/1/2004) menyentuh perkara amat fundamental, yaitu mengenai gejala deindustrialisasi. Tesis yang sama pernah saya ajukan awal tahun ini (2/1) di kolom Opini pada harian yang sama berjudul "Runtuhnya Basis Produksi".

Dalam artikel itu ada dua hal utama yang dibahas: runtuhnya sektor industri (deindustrialisasi) serta beralihnya kepemilikan perusahaan-perusahaan utama kepada pihak asing (denasionalisasi). Masalah deindustrialisasi ditandai dengan melemahnya daya saing sektor industri kita (Kompas, 25/01/2004). Hal itu tampak dalam keruntuhan sektor produksi manufaktur yang berbasis tenaga kerja (padat karya), seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, elektronik, dan mebel. Bagai kartu domino, mereka beruntun berguguran satu per satu.

Dampak langsung runtuhnya sektor industri manufaktur akan diikuti ledakan pengangguran. Meski Badan Perencana Pembangunan Nasional sudah merancang sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel (labor market flexibility), bisa dipastikan tidak akan banyak membantu. Masalahnya tidak hanya pada membanjirnya jumlah tenaga kerja (oversupply), tetapi lebih disebabkan menciutnya permintaan tenaga kerja akibat melemahnya daya saing industri kita.

Jadi tanpa membenahi sektor produksi dan meningkatkan daya saing industri, berbagai persoalan struktural (termasuk pengangguran) tidak akan terpecahkan.

Selain masalah deindustrialisasi, masalah lain yang tak kalah penting adalah fenomena penjualan saham-saham perusahaan besar kepada pihak asing (denasionalisasi). Meski persoalan ini amat jauh dari isu nasionalisme, gejala denasionalisasi akan turut menambah tingkat kerumitan dalam restrukturisasi ekonomi di tingkat mikro (korporasi).

Denasionalisasi

Gerakan antiprivatisasi sudah dimulai sejak penjualan 41,94 persen saham PT Indonesian Satellite Corporation Tbk (Indosat) kepada Singapore Technologies Telemedia (STT). Kita sering mencibirnya sebagai gerakan naif berwawasan nasionalisme sempit di tengah gelombang sexy globalisasi. Benarkah mereka naif?

Sebenarnya, mereka memiliki alasan yang rasional. Pengaruh asing dalam perekonomian nasional semakin kuat, setelah berhasil melakukan penetrasi di berbagai sektor ekonomi, seperti telekomunikasi, perbankan, ritel, maupun manufaktur. Di sektor telekomunikasi, setelah menguasai Indosat, perusahaan dalam grup yang sama, yaitu Singapore Technologies Group (SingTel), berhasil menguasai 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Sebagai catatan, Telkomsel adalah operator telepon seluler terbesar yang menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar di Indonesia.

Di sektor perbankan, Temasek Holdings (Pte) Ltd (induk STT dan SingTel) menguasai 51 persen saham PT Bank International Indonesia Tbk melalui konsorsium Sorak Financial Holdings. Temasek berhasil membeli 51 persen saham Bank Danamon melalui konsorsium Asia Financial Holdings. Kini tersiar berita, 51 persen saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) akan dijual ke Temasek dengan metode penjualan strategis (strategic sale). Singkat kata, Temasek Holdings telah menguasai sektor telekomunikasi melalui STT dan SingTel serta sektor perbankan melalui Asia Financial Holdings dan Sorak Financial Holdings.

Pola serupa terjadi pada sektor manufaktur dan ritel. The Jardin Matheson Group, kelompok usaha yang berbasis di Singapura, telah melakukan penetrasi ke Indonesia dengan membeli saham PT Astra Internasional (AI) melalui Singapore’s Cycle & Carriage yang membeli 39,8 persen saham senilai 506 juta dollar AS. Grup ini juga berhasil mengakuisisi Hero Supermarket melalui DairyFarm (induk jaringan ritel Giant yang sedang melakukan penetrasi di Indonesia).

Penetrasi asing juga terjadi dalam kasus BCA yang 52,03 persen sahamnya dikuasai Farindo Investment (Mauritius) Ltd, atau Bank Niaga yang 50,99 persen sahamnya dibeli Commerce Asset-Holding Berhad, Malaysia.

Sederet data ini bisa menggambarkan betapa dunia korporasi kita sudah menjadi ajang perebutan investor asing, melalui jaringan bisnis yang berbasis di Singapura dan Malaysia. Adakah hal yang salah? Berikut argumen yang sering muncul. Kepemilikan asing akan membawa angin perubahan, baik pada level manajemen (profesionalisme) maupun produksi (alih teknologi). Secara konseptual, argumen ini mendapatkan pembenaran. Tetapi mengapa pihak asing hanya mau membeli saham lebih dari 50 persen?

Struktur kepemilikan

Di Indonesia kebijakan penjualan aset, baik melalui privatisasi, melalui kementerian BUMN, maupun divestasi di bawah kendali Badan Penyehatan Perbankan Nasional tidak memiliki perspektif jangka panjang. Orientasinya selalu bertumpu pada usaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya melalui penjualan dengan premium price. Maka, strategi yang dipilih adalah strategic sale. Padahal, penjualan bisa dilakukan di bursa saham dengan cara initial public offering (IPO).

Dalam ideologi pasar bebas seperti sekarang, masalah kepemilikan sama sekali tak ada hubungannya dengan nasionalisme. Dalam usaha penyehatan korporasi, sering terbersit argumen, siapa pun pemiliknya asal berorientasi pada profesionalisme tidak masalah. Justru, dari pengalaman selama ini, dunia korporasi di Indonesia amat syarat dengan moral hazard sehingga mengalihkan kepemilikan kepada pihak asing adalah solusi paling baik.

Meski demikian, struktur kepemilikan yang bersifat mayoritas tetap mengandung kerawanan dalam jangka panjang. Dalam teori korporasi modern, struktur kepemilikan akan mempengaruhi kinerja organisasi. Sementara kinerja tiap korporasi akan menentukan tipikal struktur industrinya. Selanjutnya struktur industri merupakan salah satu fondasi bagi bangunan ekonomi makro. Jadi, masalah struktur kepemilikan adalah salah satu jantung masalah yang harus dibenahi, manakala kita berniat membangun fundamental ekonomi.

Prinsipnya amat sederhana, jika struktur kepemilikan korporasi hanya di satu tangan (institutional investor), siapa pun pemiliknya akan berpeluang melakukan penyelewengan terhadap kinerja korporasi. Lain halnya jika struktur kepemilikannya bersifat menyebar dan dimiliki investor individual (individual investors) di pasar modal, kinerja organisasi akan dikontrol pasar.

Bisa dimengerti jika investor asing hanya mau membeli saham dalam jumlah besar, agar mereka menjadi pemegang saham mayoritas. Bagaimanapun, kepemilikan yang mayoritas akan menguntungkan karena bisa mempengaruhi kebijakan dalam pembagian deviden, alokasi keuntungan, strategi pengembangan, dan sebagainya.

Masalah akan muncul jika suatu saat muncul konflik kepentingan antara pemegang saham mayoritas (asing) dan kepentingan pengembangan industri nasional. Misalnya, orientasi kredit mikro dalam bisnis perbankan, perlindungan pasar tradisional dalam kasus jaringan ritel atau kelancaran sistem informasi dalam kasus industri telekomunikasi.

Gejala yang akhir-akhir ini muncul adalah kita tidak memiliki rancangan besar pengembangan industri serta arah restrukturisasi korporasi secara mikro. Semuanya diarahkan pada tujuan jangka pendek yang pragmatis. Sekarang adalah saat tepat untuk mengarahkan perhatian pada restrukturisasi di tingkat mikro dengan tetap berpegang stabilitas makro yang sudah mulai tertata.

Tanpa restrukturisasi di tingkat mikro, termasuk menata struktur kepemilikan perusahaan, negeri kita bukan hanya akan terancam deindustrialisasi, melainkan juga denasionalisasi ekonomi. Dampak jangka panjangnya, kita hanya akan menjadi pekerja kasar atau pengguna akhir yang posisinya hanya "korban" kebijakan yang akan diambil para pemilik modal yang adalah pihak asing. Akibatnya, kita tidak saja akan kehilangan kesempatan merancang industri menurut cita-cita sendiri, tetapi negeri ini mungkin akan menjadi "tanah jajahan" bagi pemodal asing.


A Prasetyantoko Pengajar Kebijakan Bisnis pada Universitas Atma Jaya Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home