KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Membangun Tata Kelola

KOMPAS, 19 Oktober 2004

Bagaimana laskap ekonomi dan bisnis pasca-pergantian presiden? Pertanyaan ini mengandung implikasi yang substil, karena akan terkait dengan pola kebijakan serta corak strategi yang akan diambil oleh pemerintahan baru, sakaligus terkait juga dengan komposisi kabinet serta figur personalnya.
Pada umumnya, rekomendasi para ekonom terhadap pemerintah baru akan kembali pada dasar kebijakan ekonomi makro yang terpilah dalam kebijakan jangka pendek (short-term) dan panjang (long-term). Dalam jangka pendek, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan gejolak sekaligus merancang kebijakan untuk meredamnya. Dalam hal ini, meski indikator-indikator dasar ekonomi makro (misalnya inflasi dan nilai tukar) terlihat stabil, tetapi ada dua faktor ekternal yang tidak mudah diprediksi, yaitu harga minyak dan serangan teroris. Implikasi kedua faktor ini terhadap APBN sangat signifikan.
Gejolak harga minyak di pasar dunia diprediksi akan terus berlanjut hingga tahun depan, apalagi setelah menembus batas psikologis 50 US$/baril. Sementara itu, serangan teroris semakin membuktikan dirinya mampu menusuk jantung wilayah yang paling aman sekalipun. Bom berkekuatan sedang yang meledak di wilayah pemukiman padat di depan kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris adalah bukti yang kesekian. Entah di mana dan kapan lagi, bom akan meledak, bahkan di wilayah yang kita anggap paling aman sekalipun.
Meskipun berada di luar domain utama ekonomi, tetapi perkembangan terakhir ini membuktikan bahwa kebijakan ekonomi tidak akan terlepas dari dimensi tersebut. Untuk itu, perangkat kebijakan harus sudah disiapkan dengan baik, agar gejolak eksternal tidak menginterupsi tatanan ekonomi makro dalam jangka pendek
Sementara itu, dalam jangka panjang, tugas pemerintah adalah mengindentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi serta merancang bagaimana mendistribusikan hasil pertumbuhan tersebut. Pemetaan potensi industri oleh KADIN beberapa waktu lalu bisa jadi modal yang baik untuk memulai. Akhirnya, sinergi kebijakan jangka pendek dan panjang tersebut diharapkan mampu menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sebuah mantra yang terlanjur menjadi klasik sekaligus klise.

Pijakan Keropos
Menyangkut pola kebijakan pemerintah baik dalam jangka panjang maupun pendek, pertanyaan yang lebih penting diajukan adalah soal “institusionalisasi” kebijakan tersebut. Dengan kata lain, dengan kerangka lembaga, regulasi dan tata-kelola macam apa sederetan kebijakan tersebut akan dilaksanakan?
Melalui kilas balik pelaksanaan kebijakan ekonomi di masa silam, terlihat sangat jelas bahwa tulang-punggung tata-kelola dari serentetan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah sangat rapuh. Kerapuhan tersebut terlihat di ketiga pasar utama, yaitu pasar barang dan jasa (consumer market), pasar tenaga kerja (labor market) dan pasar keuangan (finansial market). Ketiga tipikal pasar saling mempengaruhi dan menentukan satu dengan yang lain.
Kisah ini bermula dari kebijakan besar deregulasi di era 1980-an. Kebijakan pertama pada waktu itu adalah me-liberalisasi pasar finansial. Salah satu caranya adalah mempermudah prosedur pendirian bank. Berkat kebijakan Paket Oktober (Pakto) 1988, dengan hanya bermodal Rp 10 miliar saja, kita sudah bisa mendirikan bank. Mudahnya izin pendirian bank membuat perbankan tumbuh sangat pesat dan luas; termasuk pembukaan cabang, ekspansi kredit, serta pendirian bank-bank devisa. Jumlah bank yang di tahun 1988 hanya berjumlah 111 bank, pada tahun 1994 menjadi 240 buah.
Jumlah bank meningkat dalam tujuh tahun sebanyak 51 bank dan cabang sebanyak 2.745 buah. Kenaikan pesat seperti ini telah menimbulkan kompetisi yang tidak sehat, dengan kualitas pengawasan perbankan yang sangat lemah. Jumlah aktiva dalam 7 tahun meningkat 398% (rata-rata 57% per-tahun). Padahal, dalam dunia perbankan yang normal kenaikan 12% setahun sudah dianggap agresif.
Hasil dari episode liberalisasi pasar finansial ini adalah rubuhnya sektor finansial dalam krisis 1997, sekaligus mendorong tumbangnya sektor-sektor ekonomi yang lain. Karena pasar finansial (terutama perbankan), runtuh maka pasar barang dan jasa serta pasar tenaga kerja turut mengalami kolaps. Banyak perusahaan yang tutup dan pindah ke luar negeri, sementara para penanam modal baru enggan datang. Produksi nasional melorot, kesempatan kerja makin terbatas dan pendapatan per-kapita masyarakat makin terkikis.
Begitulah runtuhnya rezim pasar bebas yang dimulai dari liberalisasi sektor finansial. Tetapi kisah buruk dalam periode yang busuk belum juga usai. Pemerintah yang turun tangah menyelesaikan masalah krisis ternyata menjadi sumber masalah berikutnya. Kebijakan penutupan bank (likuidasi), penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pendirian Badan Penyehatan Perbankan Naional (BPPN) semuanya berakhir dengan menyisakan tanda tanya besar. Biaya besar, hasil tak jelas.
Para ekonom yang menyakini adanya siklus dalam ekonomi (business cycle theory) menganggap krisis sebagai sesuatu yang natural. Tetapi aksi ambil untung, pengunggang gelap dan praktek tak bermoral dengan cara mengambil keuntungan dari situasi krisis tentu bukan faktor yang tidak bisa dikendalikan. Dalam hal ini, pemerintah telah gagal menegakkan tata-kelola, sehingga krisis tidak juga bisa segera diatasi.

Pilar Utama
Kita menyesali betapa lembaga hyper-power seperti BPPN dibiarkan berlalu begitu saja. Masalahnya, bukan saja jumlah uang sangat banyak yang telah bercucuran entah ke mana, tetapi juga karena kita telah kehilangan peluang dan momentum untuk menata ulang (restructuring) serta meletakkan landasan bagi sistem tata kelola yang baik pada korporasi-korporasi dan terutama pada dunia perbankan agar di masa depan dapat kokoh berdiri. Sampai sekarang, tata kelola korporasi (corporate governance) di dunia perbankan masih terus timbul tenggelam.
Kita patut bergembira bahwa Fitch Rating (sebuah lembaga pemeringkat) telah merevisi ranking utang delapan bank di Indonesia, yaitu PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Central Asia, PT Bank Danamon Indonesia, PT Bank Internasional Indonesia, PT Bank NISP, dan PT Bank Buana, dari “stabil” menjadi “positif” (Kompas, 09/10/2004) Jika boleh menyesali, seandainya dari dulu tata kelola ditegakkan dengan baik, maka lebih cepat restrukturisasi perbankan diselesaikan, lebih cepat sektor riil bergerak, lebih cepat investor datang, dan lebih cepat terjadi pemulihan ekonomi.
Berbeda dengan krisis yang menimpa kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur, corak krisis di kawasan Asia adalah tumbangnya tata kelola di du lini, yaitu tata kelola pemerintah (public) sekaligus tata kelola sektor swasta (private). Dengan karakteristik ini, para ahli menamai krisis Asia sebagai krisis ganda (twin crisis) atau krisis generasi ketiga (third generation). Salah satu muasal utama krisis macam ini adalah tidak terkendalinya liberalisasi tanpa ada fondasi regulasi yang cukup untuk mengikutinya.
Belajar dari pengalaman ini, ada baiknya pemerintahan yang baru menggunakan paradigma yang baru pula, agar tidak terjebak pada masalah yang sama sehingga kita tidak juga bisa melangkah maju. Integrasi tiga pasar utama (barang/jasa, tenaga kerja dan finansial) sudah tidak bisa dielakkan lagi, sehingga regulasi yang mengatur ketiganya tidak bisa lagi mengabaikan kondisi pasar yang satu dengan yang lainnya.
Fleksibilitas pada satu pilar pasar, pastilah membutuhkan kelenturan di pasar yang lain. Tetapi rumus dasarnya tetap sama, kelenturan dan liberalisasi yang merajalela tanpa ada tata kelola, hanya akan menghantarkan kita pada satu krisis ke krisis yang lain. Tata kelola adalah prasyarat yang tidak bisa ditawar oleh pemerintahan baru ini, entah siapapun anggota kabinetnya.

A.Prasetyantoko, Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Supérieure – Lettres et Sciences Humaines (ENS-LSH), Lyon-Prancis

0 Comments:

Post a Comment

<< Home