Runtuhnya Basis Produksi
KOMPAS, 2 Januari 2004
DENTANG pergantian tahun adalah saat yang tepat untuk melakukan refleksi. Salah satu tema yang pantas mendapat perhatian adalah mengenai masa depan ekonomi dan bisnis kita. Hingga kini sektor korporasi masih belum pulih benar sejak diserang badai krisis ekonomi. Dan meskipun stabilitas ekonomi makro (moneter dan fiskal) sudah semakin pasti, sektor riil masih carut-marut.
Efek domino keruntuhan sektor industri masih terasa hingga saat ini. Krisis telah dimulai dengan kolapsnya sektor perbankan yang kemudian disusul dengan runtuhnya sektor-sektor korporasi lainnya. Dan kini giliran industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang diperkirakan akan runtuh menyusul rencana dihapuskannya sistem kuota ekspor mulai Januari 2005. Dengan demikian, lengkaplah derita yang akan dialami negeri kita ini.
Sektor korporasi makin terpuruk, produk ekspor mulai kehilangan pasar, sementara investor asing semakin enggan menanamkan modalnya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Mereka hanya berminat membeli aset-aset perusahaan di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dijual cepat dengan harga supermurah.
Dampaknya bagi negeri kita bukan saja akan semakin menambah tumpukan pengangguran, tetapi berisiko runtuhnya basis produksi di negeri kita dalam jangka panjang.
Bila basis produksi makin redup, kegiatan ekonomi yang tersisa hanyalah mendistribusi dan mengonsumsi. Jika sudah begitu, kegiatan ekonomi hanya akan bertumpu pada perdagangan (lebih khusus lagi distribusi), bukan lagi produksi.
Runtuhnya korporasi
Tanda-tanda hilangnya sektor produktif sebenarnya sudah dilihat Bank Indonesia (BI). Beberapa waktu lalu Gubernur BI sudah menyatakan kerisauannya bahwa selama empat tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi hanya ditopang sektor konsumsi dan bukan oleh kegiatan investasi. Indikasi berikut ini menunjukkan dengan sangat pasti lumpuhnya investasi.
Sepanjang tahun sejak krisis, kredit perbankan telah mengalir deras ke sektor konsumsi, mengalahkan secara telak pemberian kredit terhadap investasi baru maupun penyediaan modal kerja.
Selanjutnya, Laporan Bulanan BI per Juli 2003 menunjukkan bahwa sebesar 80 persen pertumbuhan ekonomi adalah sumbangan dari sektor konsumsi. Sementara investasi hanya menyumbang sekitar 16 persen dan sisanya 4 persen dari kegiatan ekspor.
Kemandekan sektor bisnis juga ditunjukkan dengan tingkat penggunaan kapasitas produksi yang baru mencapai 70 persen dari kapasitas terpasang. Artinya, masih ada sekitar 30 persen lainnya yang menganggur (idle capacity). Jangankan perluasan kapasitas produksi, sementara yang ada saja masih banyak yang menganggur.
Sementara itu, basis produksi yang telah bekerja lebih dari 30 tahun akan segera runtuh, terkait dengan rencana penghapusan kuota TPT mulai bulan Januari 2005. Secara umum, gejala ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi kita cenderung makin rapuh.
Pertama, dari sisi penawaran, sebagian besar kegiatan ekonomi kita bukanlah kegiatan yang bersifat produktif, melainkan hanya distribusi semata.
Kedua, dari sisi permintaan, dominannya sektor konsumsi sekaligus menunjukkan ketimpangan pendapatan yang bersifat struktural. Jelas kelompok masyarakat yang masih bisa menggerakkan sektor konsumsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kelompok menengah ke atas saja. Sementara kelompok bawah harus puas menjadi penganggur yang tidak memiliki daya beli.
Di lain pihak, secara umum peranan investor asing semakin tidak signifikan. Pada tahun 2002, hanya ada 2 persen investor asing yang bertransaksi di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Padahal, sebelum krisis, lebih dari 50 persen investor di BEJ adalah investor asing. Demikian juga nilai persetujuan investasi asing telah menurun drastis, dari sekitar Rp 120 triliun pada pertengahan 1997 menjadi sekitar Rp 30 triliun saja pada pertengahan 2003.
Penurunan investasi langsung disebabkan masih tingginya risiko berinvestasi di negeri (country risk) kita. Sementara lemahnya struktur pasar modal kita telah membuat para investor asing kehilangan minat menanamkan modalnya dalam jangka pendek. Sebagian besar perusahaan yang listed di BEJ struktur kepemilikan sahamnya masih bersifat mayoritas, sementara prinsip tata kelola korporasi (good corporate governance/GCG) belum diterapkan dengan baik.
Memang belum ada penelitian komprehensif yang secara konklusif menyatakan hubungan antara struktur kepemilikan mayoritas dan lemahnya GCG. Namun, berbagai argumen mendukung kesimpulan tersebut.
Menurut data BEJ, dari 319 emiten, hanya 18 perusahaan yang lebih dari 50 persen sahamnya dimiliki masyarakat. Adapun 206 emiten lainnya pemegang saham publiknya kurang dari 20 persen. Dengan kata lain, hanya 6 persen yang sahamnya benar-benar dimiliki publik, sementara sisanya masih dikuasai investor institusional dan bersifat mayoritas.
Di sektor perbankan, 66,6 persen dari 138 bank masih dikendalikan oleh pemegang saham dengan kepemilikan atas 51 persen. Apa dampaknya?
Strategi privatisasi
Dalam korporasi modern, pemegang saham adalah penguasa tertinggi. Mereka sangat berkuasa menentukan kebijakan-kebijakan bisnis yang bersifat strategis, bahkan politis.
Dalam pelepasan kepemilikan saham oleh pemerintah melalui program privatisasi dan divestasi, pemerintah dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu menjual langsung ke bursa saham dengan mekanisme initial public offering (IPO) atau menjual kepada partner strategis (strategic placement). Selama ini penempatan kepada partner strategis hampir selalu melibatkan investor asing.
Dengan melihat data BEJ, terlihat bahwa strategi privatisasi dan divestasi belum mampu mengubah struktur kepemilikan saham perusahaan-perusahaan. Privatisasi dan divestasi hanya mengakibatkan beralihkan kepemilikan, tetapi tidak mengubah struktur kepemilikan. Masalahnya lagi, peralihan kepemilikan selalu berarti berpindah tangan ke pihak asing. Di sinilah titik krusialnya. Kepemilikan asing telah membawa dampak dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Misalnya saja, ketika 46 persen saham PT Telkom dijual kepada STT di Singapura, dividen tidak lagi mengalir ke kantong pemerintah, tetapi ke pihak investor asing. Padahal, PT Telkom adalah salah satu mesin pencetak laba paling besar di negeri kita.
Demikian juga dengan dampak yang lebih berjangka panjang, yaitu pola kebijakan yang sangat mengakomodasi pemilik baru asing tersebut. Tidak mengherankan jika pada suatu saat di kemudian hari, ada konflik kepentingan antara pemilik asing dan pemilik domestik, terutama karena menyangkut industri strategis.
Kasus yang hampir sama terjadi pada PT Astra International (AI). Sejak BPPN menjual 39,8 persen saham kepada Singapore’s Cycle and Carriage pada tahun 2000, sebagian besar keputusan strategis ada di pihak asing. Padahal, PT AI adalah salah satu yang dibanggakan oleh negeri kita sebagai korporasi modern yang efisien.
Pihak manajemen AI mengambil keputusan strategis dengan melepas anak perusahaan yang berbasis produksi kepada Toyota di Jepang. Sementara AI hanya berkonsentrasi kepada unit pemasaran dan pelayanan pascajual. Inilah representasi besar potret industri kita yang telah bergeser dari produksi ke distribusi. Konsep pembangunan berbasis produksi telah dikorup dengan pabrik pesawat ala Habibie dan mobil Timor ala Tommy Soeharto. Justru korporasi yang mempunyai sejarah produksi seperti AI kini diberikan kepada pihak asing.
Fenomena yang mirip terjadi dalam kasus perseteruan antara Semen Padang dan Tonasa menyusul penjualan saham sebesar 49 persen kepada Cemex.
Kejadian yang sama sangat mungkin terjadi dalam kasus-kasus privatisasi dan divestasi yang lain, seperti Bank BCA yang pada Maret 2002 lalu 51 persen sahamnya dijual kepada Farindo Investments (Mauritius) Limited melalui strategic private placement.
Demikian juga dengan kepemilikan 51 persen Sorak Financial atas saham Bank Internasional Indonesia (BII). Juga kepemilikan Asia Financial Indonesia Pte Ltd (AFI) sebagai anak perusahaan Temasek (Malaysia) terhadap 62 persen saham Bank Danamon.
Privatisasi dan divestasi masih menjadi eforia yang belum dikaji dampaknya. Tanpa terjebak oleh isu nasionalisme, sepertinya perlu dilakukan studi yang serius mengenai dampak kepemilikan asing terhadap keberadaan korporasi di negeri kita ini. Jangan-jangan, meskipun bangunan fisiknya masih ada di sini, seluruh kebijakan strategisnya berbenturan dengan pengembangan industri jangka panjang negeri kita.
Jika hal ini terjadi, bangsa kita benar-benar hanya akan menjadi penggembira saja. Basis industri yang akan menopang pertumbuhan ekonomi, kemampuan daya saing industri, dan kemakmuran untuk seluruh negeri akan ditelan oleh globalisasi. Entah dia runtuh karena kalah bersaing, atau diambil alih oleh investor asing. Dan, kita hanya akan menjadi distributor saja, sementara perilaku konsumtif adalah prasyaratnya.
A Prasetyantoko Pengajar Kebijakan Bisnis pada Universitas Atma Jaya Jakarta
0 Comments:
Post a Comment
<< Home