KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Kegagalan Institusi

KOMPAS, Rabu, 05 Mei 2004

PEMILU presiden 5 Juli nanti terjadi dalam situasi penuh kontradiksi. Di sektor ekonomi, sementara pemerintah melalui BKPM giat mengundang investor asing, di dalam negeri terjadi "penganiayaan" terhadap Prudential Life Assurance, sebuah anak perusahaan jasa keuangan yang berbasis di Inggris.

Masih di sektor mikro-ekonomi, setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibubarkan, ada juga bank yang dilikuidasi, yaitu Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali.

Dalam konteks lain, kontradiksi juga terjadi pada dunia perbankan sehubungan rencana merger beberapa bank. Bank Pikko, Bank CIC, dan Danpac, meski sudah sejak tahun 2001 berancang-ancang melakukan merger, hingga kini masih belum terlaksana. Sementara rencana merger BNI dan Bank Permata ditolak perusahaan pengelola aset (PPA) dengan alasan tidak memberi hasil maksimal.

Kontradiksi juga terus terjadi di sektor makro-ekonomi. Meski indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus angka 810 poin, sekaligus mengukir prestasi tertinggi dalam sejarah pasar modal di Indonesia, sektor riil masih sekarat. Penganggur bertumpuk (10 juta penganggur terbuka dan 30 juta setengah menganggur), investasi asing enggan masuk, sementara pabrik yang sudah ada memilih tutup, pergi ke tempat lain. Gejala deindustrialisasi tidak terelakkan.

Dalam konteks politik, meski proses Pemilu 2004 cukup demokratis, hasilnya memunculkan figur-figur militer yang kesannya antidemokrasi. Dari hasil survei beberapa lembaga, termasuk Lembaga Penelitian Atma Jaya (LPA), diketahui, para pelaku bisnis amat mengharapkan pemerintahan mendatang lebih tegas dalam menegakkan kepastian hukum. Demokrasi dan stabilitas sering dipertentangkan sebagai sebuah kontradiksi, sementara penegakan hukum menjadi sumber kontradiksi yang lain lagi.

Institusi

Perginya investor asing sering dijadikan alasan untuk menekan buruh, sementara persoalannya justru terletak pada kepastian hukum yang tidak ada. Dulu pernah muncul kasus Manulife yang secara ekonomi sehat, tetapi bisa dipailitkan. Kini kejadian serupa menimpa Prudential Life Assurance. Di manakah letak regulasi dengan prinsip keadilannya?

Lemahnya kepastian hukum menjadi salah satu masalah yang membuat daya saing ekonomi terus merosot. Dalam situasi seperti ini, sulit mengharapkan investor asing datang. Apalagi negara lain seperti China, Brasil, dan India jauh lebih kondusif. Pada tahun 2000, China berhasil menarik investasi asing 40 miliar dollar AS, Brasil kurang lebih 33,5 miliar dollar AS, dan India 2,3 miliar dollar AS. Pada periode itu penerimaan investasi asing ke Indonesia masih negatif.

Otonomi daerah yang memberi peran besar kepada pemerintah daerah justru mengakibatkan tidak efisiennya birokrasi. Baru-baru ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menarik kembali prosedur perizinan investasi di bawah satu atap karena delegasi pemberian izin ke daerah justru berakibat kontraproduktif. Mengapa dalam semua hal seakan terjadi kemacetan (bottle neck)?

Apabila disederhanakan, kita sedang mengalami kegagalan institusi (institution failure) yang parah. Krisis yang dalam dan lama telah menunjukkan, selama ini kita tidak pernah memiliki bangunan kelembagaan yang kuat dalam semua hal, termasuk ekonomi. Padahal, institusi adalah fondasi mekanisme kerja pasar. Apa yang dimaksud institusi?

Pemenang Nobel Ekonomi, Douglass C North, menjelaskan pentingnya perspektif sejarah dalam ilmu ekonomi. Dari sejarah, kita akan tahu bagaimana kinerja ekonomi dari waktu ke waktu. Dimensi historis adalah pintu masuk untuk memahami dinamika ekonomi dalam "ruang" dan "waktu" yang lebih material. Argumen itu tertuang dalam artikel "Economic Performance Through Time", dimuat The American Economic Review (1994), sekaligus naskah pidatonya ketika menerima hadiah nobel tahun 1993.

Ekonomi bukanlah perkara menafsirkan mekanisme pasar yang sedang terjadi, tetapi menganalisis bagaimana mekanisme pasar terbentuk dalam ruang dan waktu yang panjang (time-series). Bagaimanapun mekanisme pasar bukan interaksi bebas antara sisi penawaran dan sisi permintaan semata, tetapi sebuah mekanisme yang diatur (governed) oleh aturan main, hukum, dan konstitusi sebagai perangkat keras (hard-side), dan juga norma, perilaku, konvensi, serta ukuran kepantasan sebagai perangkat lunak (soft-side). Demikian gagasan pemikiran institusionalisme ekonomi ini lalu berkembang menjadi salah satu mazhab yang diperhitungkan.

Berangkat dari asumsi ini, kita bisa menganalisis proses restrukturisasi ekonomi, baik pada level makro maupun mikro. Kegagalan institusi mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme pasar dengan baik dan tidak berkembangnya unit produksi serta struktur industri yang kuat. Dengan kata lain, secara makro- ekonomi terlalu banyak distorsi, sementara secara mikro-ekonomi terlalu banyak kelemahan. Akibatnya, ekonomi mencapai titik jenuh dan akhirnya meluncur tajam menuju krisis yang dalam (deep crisis).

Jalan panjang

Sekaratnya negeri secara berlarut-larut menunjukkan tidak adanya bangunan kelembagaan cukup kuat untuk menopang dinamika ekonomi dan sosial kita selama ini. Bandingkan dengan Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia yang secara relatif cepat mampu mengatasi krisis.

Dalam situasi seperti ini, sebenarnya kita sedang membutuhkan proses restrukturisasi yang terarah dalam rangka membangun kelembagaan yang baru. Dalam terminologi ekonomi, semestinya restrukturisasi ekonomi menghasilkan titik keseimbangan (general equillibrium) yang baru. Dalam konteks mikro, kita sedang membutuhkan perombakan yang mengarah perbaikan (creative destruction), sebagaimana dikatakan Joseph Schumpeter, seorang ekonom institusionalis asal Austria.

Manifestasi lemahnya institusi pasar di negeri kita amat kasatmata, seperti dalam tingginya peringkat korupsi di kawasan Asia serta penerapan good corporate governance yang amat buruk. Dalam kerangka kelembagaan yang buruk, apa pun kebijakan yang diambil cenderung memberi kesan negatif.

Privatisasi perusahaan negara (BUMN) dan divestasi perusahaan swasta pada dasarnya bukan ide buruk. Tetapi ketika keduanya dijalankan tanpa dukungan institusi yang baik, carut-marutnya begitu terasa. BPPN sebenarnya bukan lembaga yang jelek, tetapi ketika berjalan tanpa institusionalisasi yang baik, dampak negatifnya amat kasatmata.

Pada dasarnya, krisis itu sendiri adalah konsekuensi paling nyata dari kegagalan institusi membangun kerangka institusional bagi dinamika pasar. Restrukturisasi korporasi, likuidasi, merger, dan akuisisi serta privatisasi adalah bagian dari penyesuaian institusional dari unit-unit produksi mikro-ekonomi. Parahnya gejala restrukturisasi mikro menunjukkan betapa korporasi telah tumbuh tanpa institusi.

Contoh amat baik terjadi pada sektor perbankan. Saat deregulasi dilakukan tahun 1988 hanya ada 111 bank, tetapi tahun 1996 sudah ada 240 bank. Setelah terjadi krisis dan dilakukan restrukturisasi perbankan, yang tersisa 133 bank. Betapa liberalisasi tanpa aturan telah mengakibatkan kerusakan amat parah. Dalam sektor perburuhan, kini ada dilema amat besar antara liberalisasi pasar tenaga kerja dan perlindungan pada buruh. Dilema ini terjadi karena selama ini pasar tenaga kerja selalu dijadikan dasar strategi industri yang berbasis buruh murah.

Akhirnya, proses pencapaian keseimbangan baru yang ditandai dengan berbagai restrukturisasi dalam segala bidang ini membutuhkan kelembagaan yang kuat sebagai penopangnya. Dalam konteks inilah presiden baru nanti diharapkan memiliki visi yang jelas dalam rangka membawa negeri ini keluar dari krisis dengan bangunan kelembagaan baru. Sayang, sampai sekarang kita belum menemukan figur ideal itu.


A Prasetyantoko Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home