KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Pemilu sebagai "Milestone" Ekonomi

KOMPAS, Selasa, 16 Maret 2004

APA masalah paling serius dalam ekonomi kita kini? Jawabnya, pengangguran. Inilah indikator paling penting untuk melihat sehat tidaknya sebuah perekonomian. Saat ini hampir seluruh indikator makro-ekonomi menunjukkan kinerja stabil, mulai dari nilai tukar, inflasi, hingga suku bunga. Tetapi, ekonomi belum tumbuh sesuai harapan. Artinya, pertumbuhan belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang "cukup" bagi penganggur.

Pertumbuhan ekonomi dikatakan baik jika mendekati laju pengangguran. Dalam kenyataan, tidak satu negara pun di dunia yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk tiap angkatan kerja (full employment), kecuali di buku-buku teks ekonomi. Tetapi, paling tidak, laju ekonomi mendekati laju pertumbuhan pencari kerja sehingga angka pengangguran bisa ditekan serendah mungkin.

Bagi penganut negara kesejahteraan (welfare-state), saat negara tidak mampu mendorong sektor swasta menciptakan lapangan kerja, mereka memberi santunan kepada kelompok penganggur. Bagi penganut hukum pasar, tingginya angka pengangguran direspons dengan paket kebijakan liberalisasi. Termasuk di dalamnya liberalisasi pasar tenaga kerja. Pemerintah melalui Bappenas merancang penerapan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja atau lebih dikenal dengan Labor Market Flexibility (LMF) untuk mengatasi masalah pengangguran dan kelambatan pertumbuhan ekonomi.

Fleksibilitas dianggap sebagai "kata kunci" untuk mengatasi segala persoalan. Dan kelenturan pasar tenaga kerja hanya satu instrumen dari paket liberalisasi besar lain. Misalnya, untuk menutup defisit anggaran yang parah, pemerintah getol melakukan program privatisasi yang intinya fleksibilitas dalam hal kepemilikan (ownership) perusahaan. Dalam hal investasi asing, RUU Penanaman Modal 2003 adalah salah satu usaha melempangkan jalan bagi fleksibilitas investasi asing. Dengan demikian, modal asing menjadi leluasa merasuk jantung dan urat nadi kehidupan ekonomi kita. Salahkah?

Dilema

Berkait skenario liberalisasi yang muncul dalam fenomena privatisasi dan deregulasi ini, hampir tidak satu argumen pun yang bisa menyanggah. Prinsip neoliberal sudah menjadi sesuatu yang tak terbantahkan. Semua berjejer dalam argumen yang sulit ditepis kebenarannya. Dalam hal privatisasi, misalnya, argumen yang diajukan adalah sebagai jalan keluar atas defisit anggaran yang parah. Selain itu, privatisasi juga diyakini sebagai cara untuk meningkatkan kinerja BUMN yang sudah dikenal amat buruk akibat terlalu lama digerogoti kepentingan politik.

Demikian juga dengan deregulasi. Deregulasi adalah jalan keluar dari birokratisasi berbelit yang membalut iklim investasi kita sehingga tidak menarik bagi investor asing. Karena itu, paket fleksibilitas dan liberalisasi diarahkan untuk peningkatan investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pada gilirannya penciptaan lapangan kerja. Siapa bisa mematahkan logika ini? Rasanya kita semua setuju dengan dalil-dalil di atas.

Namun, dalam skenario ini muncul prinsip ceteris paribus (mengandaikan hal-hal lainnya tetap). Jadi, apabila dalam kenyataannya liberalisasi menimbulkan penderitaan dan kemelaratan, hal itu di luar skenario karena diandaikan hal-hal lain tetap (tidak berubah). Pada titik ini, seluruh asumsi dan perhitungan ekonomi sedang bermigrasi dari realitas menuju ruang kosong di meja dan kertas kerja.

Seperti sering disebut, salah satu keberhasilan pemerintah sekarang adalah kemampuan menciptakan stabilitas ekonomi makro. Hampir semua simbol krisis sudah sirna dari hadapan kita, seperti Paris Club, London Club, Prakarsa Jakarta, dan yang paling besar adalah BPPN. Tutupnya BPPN dengan amat sederhana diartikan sebagai berakhirnya krisis. Itu adalah prestasi terbesar rezim berkuasa sekarang. Maka, dengan logika naif, rezim sekarang amat layak dipilih kembali dalam pemilu mendatang. Benarkah?

Meski secara perhitungan makro tidak terbantahkan, jika dilihat dalam potret mikro kenyataannya akan berbeda. Misalnya, tingkat utilisasi industri hingga akhir 2003 masih berkisar 70 persen. Artinya, masih ada 30 persen yang menganggur (idle capacity). Demikian juga dengan perbankan yang belum mampu menyalurkan kredit ke sektor riil, mereka lebih senang memberi kredit konsumsi yang rendah risiko. Alhasil, meski ekonomi diproyeksikan tumbuh 4,7 persen tahun 2004, diyakini proporsi konsumsi akan berperan penting ketimbang kegiatan investasi dan ekspor-impor.

Demikian juga dalam penanaman modal asing, meski hingga akhir Januari 2004 ada lonjakan sekitar 200 persen lebih dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, nyatanya jumlah pabrik kian berkurang. Artinya, modal masuk lebih ke investasi jangka pendek yang tidak membuka peluang kerja. Dan pengangguran terus tumbuh sekitar 9,5 persen per tahun sehingga jumlah penganggur membengkak mendekati angka 40 juta jiwa. Apakah potret ini menandakan bahwa pemerintahan ini berhasil?

Momentum pemilu

Pertanyaan superpenting kini adalah apakah pemilu akan menjadi momentum penting bagi perbaikan ekonomi? Meski ekonomi makro relatif stabil, dan simbol krisis sudah sirna, persoalan nyata masih tetap ada. Sederet penganggur dan pencari kerja masih menghantui pemerintahan baru nanti. LMF hanya menyimpan debu dalam karpet.

LMF melegitimasi dua hal, penerapan buruh kontrak dan sistem outsourcing. Masih ditambah absennya pemerintah dalam tawar-menawar pengusaha dan buruh hanya akan membuat nasib buruh kian menderita. Tetapi kenyataan ini akan dianggap sebagai "efek samping" yang harus ditelan dalam rangka mengatasi krisis ekonomi.

Prinsip tidak mau mencampuri urusan pasar akan terus diterapkan karena diyakini sebagai solusi terbaik. Demikian juga dalam sistem ketenagakerjaan. Pemerintah lebih suka absen. Dalam hal privatisasi, pemerintah juga makin enggan mencampuri urusan bisnis. Biarkan pasar yang menyelesaikan masalahnya. Sistem pasar adalah mekanisme terbaik yang pernah ada (one best way).

Sudah puluhan tahun lalu para pemikir ekonomi-regulasi mempersoalkan mekanisme liberal tanpa regulasi sebagai sumber masalah baru. Dan kini, para pemikir pembaru intervensi pemerintah (Intervensionis-Keynesian) tengah mengajukan konteks baru bagi relevansi pemikirannya.

Dalam konteks ini, peran pemilu amat menentukan. Pemilu adalah seleksi terhadap para pemimpin negeri ini di masa depan. Dan kualitas pemimpin yang akan dihasilkan akan amat menentukan kualitas kebijakan yang dikeluarkan. Pada gilirannya akan menentukan baik buruknya nasib orang kebanyakan. Absennya negara, tanpa diimbangi pengetatan regulasi, hanya akan menjadi sarana "perampokan". Maka ada baiknya argumen yang mengusulkan agar privatisasi ditangguhkan hingga ada pemerintahan baru yang terbentuk lewat pemilu.

Kunci dari semua masalah ekonomi kita kini, mulai dari iklim investasi hingga masalah pengangguran, amat terkait masalah penegakan hukum. Ternyata, pemecahan melalui liberalisasi justru menimbulkan masalah tata kelola (governance). Pemecahan krisis melalui liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi justru menjerumuskan kita pada peringkat pertama korupsi di Asia.

Pemilu akan menjadi momentum yang baik jika pesta politik mampu memilih wakil yang bisa dipercaya (kredibel), karena kredibilitas sebuah pemerintahan akan segera disambut gerakan pasar dan aliran modal yang siap menggerakkan roda perekonomian.

Jika ekonomi bergerak, pengangguran akan berkurang dengan sendirinya. Jadi, kredibilitas adalah syarat mutlak bagi pemerintahan baru. Sayang, syarat munculnya kepercayaan amat berat, berani menegakkan masalah hukum yang selama ini menjadi masalah utama.

Di sinilah kita merasa tidak ada satu partai politik pun yang terlihat akan mampu menyelesaikan masalah esensial itu. Institusi regulasi adalah infrastruktur nonfisik yang mutlak bagi pemulihan ekonomi.

Tanpa hal itu, sebagaimana dikhawatirkan IMF, kita akan menghadapi krisis ekonomi berikutnya. Kita belum benar- benar pulih meski sudah mulai stabil. Tanpa ditopang restrukturisasi institusi regulasi, risiko kembali menyusur krisis amatlah besar.

Kita sama-sama menunggu, apakah ada parpol yang berani berjanji menegakkan regulasi. Bahkan partai yang mengaku memperjuangkan wong cilik dalam praktiknya justru mencederai nasib konstituennya dengan penerapan prinsip neoliberal yang brutal. Jadi, kredibilitas adalah barang amat mahal di negeri ini. Lalu bagaimana nasib ekonomi kita di tengah konstelasi partai menjelang pemilu ini? Heaven knows!

A Prasetyantoko Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home