KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Sunday, April 16, 2006

Malaise

(KOMPAS, 03 Oktober 2001)

Kejadiannya mirip dengan kecelakaan yang menimpa pesawat Concorde satu tahun yang lalu. Ketika pesawat ini diterbangkan untuk pertama kalinya, sang pilot sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres pada bagian belakang sebelah kiri pesawatnya. Hanya masalah kecil dan misi harus terus dilanjutkan, begitu percakapan yang sempat terekam di “kotak hitam”.
Memang hanya selempeng pelat baja yang tergilas roda pesawat, kemudian terangkat ke atas dan masuk ke tabung bahan bakar. Tapi akibatnya, pesawat masa depan tersebut gagal menunaikan misi pertamanya. Dia meledak, persis beberapa saat setelah tinggal landas.
Perekonomian dunia adalah pesawat Concorde. Sebuah proyek masa depan yang diliputi oleh optimisme luar biasa. Ambisius. Seperti Concorde, globalisasi adalah simbol kemajuan yang dijadikan model pengembangan sistem ekonomi dunia. Dan seperti globalisasi, Concorde adalah proyek kebanggaan yang memakan modal sangat besar, mewah dan mampu terbang dengan kecepatan luar biasa.
Impian tentang perekonomian global adalah sama dengan publikasi pesawat masa depan tersebut. Sesuatu yang canggih, ideal, elegan dan mampu memuaskan semua pihak yang terlibat dalam proyek tersebut. Benarkah?

****

Kejadian dalam dua dekade terakhir ini adalah “kerikil-kerikil tajam“ yang tidak mustahil akan menusuk roda globalisasi, dan akhirnya menghancurkannya. Globalisasi ekonomi sebagai proyek masa depan tengah menjadi obsesi hampir seluruh negeri di muka bumi ini. Tujuannya sangat mulia. Untuk memakmurkan semua anak bangsa di seluruh dunia. Dan dengan beranjak dari keyakinan tersebut, seluruh perangkat yang tersedia dimuarakan untuk memacu percepatan laju globalisasi. Malangnya, proyek tersebut tengah melindas lepengan baja yang menebar di landasan pacu.
Kemandegan tengah melanda perekonomian Amerika. Sudah ketujuh kalinya dalam tahun ini Alan Greenspan memangkas suku bunga, dalam rangka menggairahkan investasi dan mendongkrak permintaan pasar. Tapi perekonomian tidak juga tumbuh seperti yang diharapkan. Malahan, Argentina tengah tertular virus mematikan ini, sehingga IMF harus mengirimkan bantuannya sebesar 8 miliar US dolar.
Jepang sebagai kereta kedua perekonomian dunia juga mengalami nasib yang sama. Bulan lalu indeks saham Nikkei meluncur pada titik paling rendah sejak tahun 1980. Nampaknya, setelah diseret oleh krisis Asia sejak 1997 lalu, perekonomian Jepang belum juga menunjukkan performanya.
Nasib serupa juga dialami oleh Jerman, sang motor perekonomian uni-Eropa. Beberapa minggu lalu bursa sahamnya mengalami kemerosotan tajam, dan menyentuh titik terendah dalam tahun ini. Selain itu, menurut perkiraan IDEAglobal (sebuah lembaga konsultan yang berbasis di Washington), prospek perekonomian eropa tahun depan tidak begitu menjanjikan. Persis karena persoalan yang tengah dialami masing-masing negara terkumpul dalam tatanan baru sistem mata uang tunggal eropa (european single market)
Bagaimana kita harus optimis dalam situasi seperti ini, begitu kata Robert Hormats (vice chairman of Goldman Sachs International). Musim gugur tengah menimpa perekonomian dunia. Dan periode 20 tahun terakhir ini adalah masa yang paling ganas, berbagai persoalan muncul secara simultan dan menimbulkan efek berantai yang luar biasa.
Dalam skala mikro, kemandegan ekonomi dunia ditandai dengan rontoknya perusahaan-perusahaan besar, khususnya yang berbasis pada teknologi tinggi. Pesta sudah berakhir bagi mereka, dan sekarang saatnya menggulung tikar. Microsoft dan HP baru saja mengumumkan keputusan untuk melakukan merger. Dan keputusan serupa terjadi di berbagai sektor industri, khususnya sektor keuangan. Seperti yang dilakukan oleh JP Morgan terhadap Chase Manhattan.
Dalam sebuah tatanan global, setiap masalah yang terjadi akan menyebar dalam kecepatan luar biasa dan segera mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara umum. Jeffrey Garten (Dekan Yale School of Management) menyatakan bahwa keterpelesetan kecil bisa menjadi bencana besar karena keterhubungan antar-variabel yang kian terkait satu sama lain.
Di luar cerita tentang kemandegan ekonomi dunia yang akan mengancam gerak laju globalisasi ekonomi, beberapa kelompok masyarakat juga semakin hari semakin menunjukkan penolakannya terhadap globalisasi. Mimpi tentang globalisasi ekonomi tidak diterima oleh semua pihak.
Gerakan anti globalisasi sedang menjadi wacana baru yang menyeruak di kalangan para aktivis NGO di berbagai negara, setidaknya di kawasan Eropa. Sejak kemunculannya pertama kali sebagai sebuah kekuatan masif dalam demonstrasi yang mampu menggagalkan pertemuan puncak WTO (World Trade Organisation) di Seattle dua tahun lalu, gerakan ini menjadi mode yang mengilhami gerakan sosial di berbagai sektor.
Di Perancis misalnya, belakangan ini sindikat petani (syndicate des paysannes) sangat aktif melakukan pemboikotan terhadap tanaman transgenik. Mereka membabat dan membakar habis ladang-ladang jagung, proyek pertanian transgenik. Sementara beberapa sindikat lainnya juga sudah mulai agresif menyerang simbol-simbol globalisasi, seperti McDonald.
Dalam tataran ideologi sosial, paham ekstrim kanan tengah meriah merayakan pesta kelahirannya kembali. Di Italia, makam Mussolini kini tengah direnovasi. Dan di kawasan tersebut akan segera dibangun sebuah musium untuk mengenangnya. Salah seorang pengikut Mussolini mengaku “saya bukan fasist tapi Mussolinist”. Bagi mereka Mussolini adalah seorang patriot yang sangat mencintai bangsanya.
Fenomena yang sama juga terjadi di Jerman dengan neo-nazisme-nya. Mereka adalah sebagian orang yang lelah dengan dunia yang tanpa batas. Mereka ingin kembali mendudukkan kedaulatan nasion-nya pada tempat yang utama. Dan ketegangan sedang terjadi antara globalisasi dan primordialisasi.

***
Dunia memang tengah lari tunggang langgang. Dan tidak ada kekuatan apapun yang mampu menghentikannya. Di mana kita bisa menemukan mesin utama penggerak globalisasi tersebut? Para penggagas “post-modernisme” telah memvonis rasionalitas modern sebagai inti persoalannya. Maka mereka menawarkan gagasan pasca-modernitas untuk menghentikan mesin modernitas tersebut. Tapi, jawaban tersebut tidak punya petunjuk praktis, selain hanya menunjuk pusat masalahnya.
Memang benar bahwa rasionalitas-modern adalah garda terdepan (avant garde) yang memunculkan gerakan revolusioner di bidang ilmu dan teknologi. Dan akhirnya melegitimasi globalisasi. Majalah mingguan Le Nouvel Observateur (edisi 5 september 2001) mengulas tentang perkembangan revolusioner di bidang “technoscience”. Sebuah makluk yang menggabungkan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagaimana diulas dalam majalah ini, Jacques Ellul menyebut bahwa situasi sekarang ini adalah “proses tanpa subyek”. Segalanya terjadi secara mekanis, begitu saja dan tidak ada lagi daya manusiawi yang mampu mengendalikan, apalagi merefleksikannya. Teknologi telah menjadi kekuatan yang anonim dan pasar adalah tirani. Zaman sedang berganti dan kembali pada ujung beradapan masa lalu. Kini kita tengah berputar lagi pada “era-barbarisme ekonomi”. Modernitas tengah menuntun kita pada peradapan yang surut (modernité régressive) dan masyarakat kembali menghadapi kekosongan (nihilisme).
Membaca resistensi historis seperti ini, kengerian terhadap hadirnya kembali malaisé ekonomi adalah sesuatu yang wajar. Kata yang berasal dari bahasa Perancis ini mengandung makna “keadaan yang serba susah”. Artinya, globalisasi akan mengirim efek balik yang bukan lagi menyejahterakan umat manusia, tetapi justru menyengsarakannya.
Kejadian 70 tahun lalu, saat perekonomian dunia mengalami kemandegan (1930-an) adalah peringatan bagi pera pengandali kebijakan agar lebih hati-hati memainkan peranannya dalam mengambil kebijakan.
Kita berharap agar para pilot Concorde globalisasi yang membawa nasib warga dunia ini mampu mengendalikan laju pesawat dengan hati-hati. Peringatan ini penting bagi pengambil kebijakan di Bank Dunia dan IMF yang pada bulan september ini bersidang. Demikian juga dengan para pemimpin negara maju (G-7). Tetapi juga bagi para penggagas “masyarakat baru” yang melantunkan kritiknya dalam gerakan anti-globalisasi. Kerja masih panjang dan tugas belum selesai, maka sudah selayaknya jika para aktivis NGO merapatkan barisan untuk menggarap isu anti-globalisasi ini dengan lebih serius.

(penulis adalah mahasiswa pasca-sarjana Université des Sciences et Technologies de Lille (USTL), Perancis dan staf pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home