KOMPAS

Kliping artikel Opini KOMPAS, sejak 2001

Saturday, May 12, 2007

Buruh dan Pasar Modal

Buruh dan Pasar Modal


A Prasetyantoko

Di Perancis—akibat pengaruh gerakan sosialis yang kuat—sejak 1793, Hari Buruh menjadi hari sakral. Hingga hari ini orang berpikir panjang untuk beraktivitas pada tanggal 1 Mei karena hampir semua kegiatan ekonomi benar-benar mati.

Di Indonesia, Hari Buruh diperingati dalam suasana dinamika pasar modal yang luar biasa. Pada 26/4/2007, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta berhasil bertengger pada level 2.016 setelah naik dari posisi penutupan sehari sebelumnya di 1.986. Bagi para investor, peristiwa ini penting menandai tercapainya sebuah rekor tertinggi dalam sejarah pasar modal Indonesia.

Hari ini, mempertentangkan buruh dengan modal, sulit menemukan ruang diskusi. Dengan segera akan dituduh Marxis, terlalu radikal, atau antimodal (bisnis). Padahal, pertentangan di antara keduanya tetap relevan, bahkan telah berevolusi dalam perkara-perkara yang lebih substil.

"Simulacra"

Robert Boyer, salah satu penggagas Teori Regulasi, menjelaskan pertentangan buruh dan modal melalui fakta-fakta yang amat aktual. Pertanyaan yang sama sering muncul di benak kita. Mengapa gaji buruh sulit naik, sedangkan gaji para direktur (CEO) terus meroket? Atau, mengapa melesatnya gaji CEO kadang berbanding terbalik dengan kinerja perusahaan? Masalah ini terutama terjadi pada perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa.

Boyer menjelaskan, umumnya kinerja perusahaan dan sistem penggajian para eksekutif tidak lagi dinilai dari rentabilitas riil perusahaan, tetapi dari nilai ekspektasi harga saham perusahaan yang diperdagangkan. Sukses tidaknya seorang eksekutif tidak lagi dihitung seberapa laba riil yang bisa dihasilkan, tetapi seberapa mampu menciptakan kesan, sehingga harga saham di bursa kian melambung.

Masalahnya, nilai perusahaan di pasar saham tidak selalu mencerminkan realitas perusahaan yang sebenarnya. Ada banyak perusahaan yang berkinerja buruk, memiliki tingkat perolehan saham tinggi. Di pasar modal, kebobrokan perusahaan lebih mudah disembunyikan sehingga prinsip "pasar mobil bekas" (market of lemons) sebagai biang keladi ketidakpastian ekonomi menjadi sesuatu yang sangat biasa.

Pasar saham telah mengubah ekonomi riil menjadi simbol-simbol yang imajiner. Pasar modal adalah simulacra.

Para peneliti yang menggeluti perilaku dalam keuangan (behavioural finance) menunjukkan, harga saham bisa terlepas dari nilai fundamentalnya karena penilaian saham tidak selalu berbasis pada penilaian nilai riil perusahaan. Ternyata, fenomena mikro ini juga terjadi dalam konteks makro. Mengapa liberalisasi keuangan (capital account liberalization) banyak diakhiri degan krisis ganas?

Di negara berpenghasilan menengah, liberalisasi finansial akan diikuti tidak simetrisnya perkembangan antarsektor produktif dan nonproduktif. Argumennya, pasar finansial tidak bekerja sempurna akibat adanya faktor informasi yang tidak seimbang (asymmetric information).

Namun, dalam kasus yang ekstrem, liberalisasi finansial bisa diikuti gejala deindustrialisasi, yaitu bergesernya pendulum aktivitas ekonomi dari sektor produksi ke sektor-sektor nonproduksi.

Kita bisa menduga, perekonomian yang baru saja keluar dari krisis cenderung mengalami gejala ekstrem itu.

Kualitas ekonomi

Sudah banyak dibahas betapa sektor finansial menjadi gelembung besar, di tengah merosotnya aktivitas ekonomi di sektor riil akhir-akhir ini. Kondisi ini bisa disimulasi dari data penawaran dan permintaan kredit.

Pertama, data penyaluran kredit dari sektor perbankan akhir-akhir ini menunjukkan proporsi kredit lebih banyak terserap ke sektor nonproduktif ketimbang produktif.

Kedua, data penyaluran kredit perbankan terkonfirmasi dengan data penyerapan kredit berbagai perusahaan publik. Perusahaan yang paling banyak menyerap kredit adalah perusahaan dalam sektor nonproduktif. Lagi-lagi, seperti sebelum krisis, sektor properti mendominasi.

Beberapa waktu lalu Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia mengingatkan, kurang bergairahnya sektor riil bisa menjadi salah satu risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan, terutama perbankan.

Kajian Stabilitas Keuangan Semester II- 2006 BI melihat lemahnya kinerja sektor riil dari rendahnya kinerja keuangan berbagai perusahaan terbuka. Indikasinya, turunnya rentabilitas usaha.

Penurunan kinerja terutama terjadi di industri dan produk tekstil, sepatu, serta otomotif. Pada sektor-sektor itu jumlah perusahaan yang rugi lebih banyak ketimbang di sektor lain. Data ini hanya menggambarkan betapa sektor produktif kian kalang kabut untuk bertahan hidup.

Dengan kata lain, rendahnya kualitas pertumbuhan yang terjadi akhir-akhir ini bisa dengan mudah menjadi bumerang yang membahayakan stabilitas perekonomian yang terlalu didominasi sektor finansial seperti sekarang. Jika tidak hati-hati, ekonomi kita akan kembali dimakan mesin simulacra, mengingat makin liberalnya sistem finansial kita. Ekonomi riil akan diubah menjadi sesuatu yang imajiner sehingga tidak banyak berarti bagi kesejahteraan orang banyak.

Menerapkan kebijakan liberalisasi finansial bagai meniup balon yang meski terasa kian besar, tetapi dalamnya kosong. Dengan begitu, Hari Buruh harus dilalui dengan suasana sendu karena prospek ketenagakerjaan masih akan terus dihantui beberapa persoalan utama.

Pertama, adanya kecenderungan kian menciutnya lapangan pekerjaan karena pusat perputaran ekonomi bukan lagi di sektor riil, tetapi di sektor finansial. Kedua, jika uang mengalir ke sektor riil, yang akan tumbuh adalah sektor nonproduktif. Ketiga, ketimpangan gaji antara buruh dan direktur akan menjadi hal biasa, dalam sebuah sistem ekonomi finansial yang berbasis ekspektasi, bukan pada realitas kekinian.

A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home